Kartini(an)

image

Seperti yang jamak terjadi, peringatan Hari Kartini tereduksi semata-mata menjadi pesta pakaian tradisional. Pun demikian dengan TK anak saya.

Karena pakaian tradisional tahun sebelumnya sudah kekecilan maka saya usulkan menggunakan oleh-oleh pakaian adat Belanda. Kan pakaian tradisional, meskipun Belanda?ย  😁

Tidak disangka anak saya malah menyahut, ‘Iya, terus nanti aku bawa kertas-kertas gitu’. ‘Loh buat apa? ‘, tanya saya.’ Aku kan jadi temennya Kartini yang orang Belanda itu, terus kertasnya itu pura-puranya surat Kartini.. ‘. Lagi-lagi jawabannya mencengangkan saya. Memang dulu pernah diceritain tentang Kartini, tetapi kecepatan mengingatnya kembali dan mengaitkannya cukup mengagetkan. ๐Ÿ™‚

note: posting ini ternyata lama nyangkut di aplikasi wordpress android ๐Ÿ˜€

Takdir

Salah satu bahasan yang sulit adalah mengenai takdir. Salah dalam memahami mengakibatkan salah dalam bertindak.

Ada yang berpendapat bahwa segala sesuatu itu telah ditentukan, sehingga buat apa berusaha keras toh berhasil atau gagal sudah ditentukan. Lebih parah lagi kalau menganggap berbuat baik juga tidak perlu, toh akhirnya kita ke surga atau neraka itu juga telah ditentukan. Kalau kita hanya sekedar wayang yang dijalankan sepenuhnya oleh dalang, apakah wayang perlu dimintai pertanggungjawaban?

Saya punya pendekatan lain dalam usaha memahami takdir. Ketika kita ujian di sekolah, sering kali dibagikan soal yang berbeda untuk siswa yang duduk berdekatan. Tujuannya untuk mengurangi kesempatan menyontek. Saya katakan mengurangi karena bisa saja siswa menyontek sebelahnya asal jangan lupa menulis nomor soal yang dicontek juga ๐Ÿ˜€ .

Nah bagi saya, soal ujian tersebut adalah takdir. Tuhan Yang Maha Segala memberikan soal yang berbeda untuk setiap makhluknya. Ada yang belum lahir sudah kaya, ada pula yang sudah diwarisi hutang. Ada yang sempurna fisiknya hingga ganteng maksimal, ada pula yang cacat bawaan. Seperti soal ujian, tugas kita mencari jawaban atau solusinya, bukan mempertanyakan soalnya, apalagi iri dengan soal orang lain. Itulah iman kepada takdir. Dan oleh Tuhan Yang Maha Segalanya, jawaban kita dijadikan soal berikutnya, begitu seterusnya sampai kita mati.

Mencari jawaban tentu bukan soal mudah, tapi bukan berarti harus menyerah. Ada kisi-kisi jawaban melalui kisah-kisah orang terdahulu, pun boleh juga memohon bocoran milih yang ini atau yang itu. Beriman kepada Tuhan Yang Maha Adil juga berarti kita percaya bahwa betapapun beda soalnya untuk masing-masing orang tetapi bobotnya sama. Bukankah Dia berjanji bahwa tidak akan memberikan soal yang tidak mampu dijawab?

Fast / rapid charging baterai Li-ion

Belakangan ada beberapa handphone yang memiliki fitur rapid charging yang menjanjikan baterai terisi 75% dalam 15 menit. Fitur ini sebenarnya tidak istimewa tapi hanya butuh keberanian pembuatnya saja :D.

Nge-charge baterai Li-ion menggunakan 2 tahap. Yang pertama disebut Constant Charge (CC) dan kedua disebut Constant Voltage (CV). Saat CC, baterai diberi arus yang konstan sampai voltase baterai mencapai nilai tertentu, yaitu 4.1, 4.2, atau 4.35.  4.1 untuk baterai teknologi lama, biasanya tertulis 3.6v di badannya. Yang beredar sekarang umumnya tertulis 3.7v yang berarti maksimal 4.2v. Jadi baterai Li-ion ini punya voltase maksimal saat penuh, lalu menurun saat digunakan. Yang tertulis di badan baterai (3.6v/3.7v) adalah nilai rata-ratanya, sedangkan 4.x tadi adalah nilai maksimumnya.

Setelah mencapai nilai voltase tertentu tersebut, charger ganti menggunakan metode CV. Baterai diberi voltase tetap sampai arusnya drop. Fase ini disebut juga fase saturasi.

2 fase inilah yang dimainkan untuk rapid charging. Fase pertama mengisi baterai sampai sekitar 80%, sedang fase kedua sisanya sampai 100%. Uniknya meskipun hanya 20%, fase kedua bisa sama bahkan jauh lebih lama waktunya daripada fase pertama. Rata-rata charging normal adalah 2.5 sampai 3 jam. Fase pertama dapat dipercepat dengan memberi arus yang besar, tapi ini akan membuat fase kedua lebih lama. Di sinilah ‘teknologi’ fast charging itu, yaitu mempercepat fase pertama dengan memberi arus yang besar. Lihat pula janjinya, mencharge dengan cepat sampai 75% :D. Coba saja dicharge sampai 100%, pasti tidak akan jauh berbeda dengan charge normal.

Apa efek dari memberikan arus besar ke baterai? Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut akan memperpendek umur baterai. Energi yang berlebihan dapat menimbulkan panas serta perubahan kimia pada baterai secara permanen. Ada rekomendasi untuk tidak ngecharge lebih dari 1C. C adalah jumlah arus yang dikeluarkan baterai pada satuan waktu tertentu.  Di situs-situs sering disebut praktisnya nilai C adalah kapasitas baterai. Jadi kalau baterai 2000mAh maka nilai C adalah 2000mA alias 2A. Baterai ini jangan dicharge dengan charger yang lebih dari 2A. Umumnya pembuat ponsel menggunakan 0.5C agar lebih aman. Baterai 2000mAh dicharge dengan adaptor sebesar 1A atau 1000mA. Umumnya kita bisa memakai adaptor berarus besar di ponsel kita karena ada komponen yang membatasi arus maksimal di ponsel atau baterai. Nah, fast charger yang diiklankan memiliki arus sampai 4500mA padahal baterai yang dicharge 3000mA atau 1.5C, dan ‘teknologi’-nya membolehkan hal itu.

Kalau fast charging berefek buruk bagaimana dengan slow charging? Dulu ada rekomendasi untuk charge dibawah 0.3C supaya baterai bertahan lama, namun penelitian terakhir menyatakan tidak ada beda signifikan dengan yang dicharge sampai 0.7C. Namun tetap saja penelitian ini tidak merekomendasikan charge lebih dari 1C.

Referensi: http://www.bateryuniversity.com

Khusnul khatimah

Sebuah dialog utara selatan alias ngobrol ngalor ngidul dengan sesama pejuang tugas akhir berbuah pencerahan. Kami yang terlunta-lunta dalam mengerjakan tugas tersebut merasa bahwa kerja keras kami di modul-modul awal tidak berguna. Lembur jungkir balik saat mengerjakan tugas modul seakan tidak berguna. Justru kami merasa kehabisan tenaga di akhir.

Jangan-jangan hidup memang begitu. Jangan-jangan sesuatu itu memang dinilai dari akhirnya. Jangan-jangan itulah mengapa khusnul khatimah alias akhir yang baik itu dicari bahkan jadi tujuan hidup.
Teman saya lalu bercerita bahwa di desanya sering muncul berbagai macam isu saat seseorang sudah tua sakit-sakitan tapi susah meninggal dunia. Pasti banyak yang membahas bahwa si anu itu punya โ€peganganโ€, punya jimat yang membuatnya susah meninggal. Tapi tidak seorang pun yang membahas, jikalau pun betul, bahwa jimat itu mungkin yang memerdekakan Indonesia. Bahwa bisa saja tatkala melawan Belanda seluruh pasukannya tewas kecuali dia, lalu dia bertempur dengan gagah berani sampai kita merdeka. Maka dia telah diadili berdasar pada ‘akhirnya’ dan bukan ‘prosesnya’.

Ujian Nasional banyak diprotes karena menyimpulkan hasil pendidikan seseorang selama bertahun-tahun dalam sebuah rangkaian tes. Bagaimana kalau saat ujian anak tersebut sedang sakit? Sia-sia sudah usahanya bertahun-tahun. Ujian tersebut jelas tidak mewakili pendidikan yang didapatnya bertahun-tahun. Padahal sebenarnya hidup memang sering seperti itu. Anda bisa kehilangan kesempatan untuk mendapat pekerjaan idaman yang Anda cita-citakan seumur hidup hanya karena mengacaukan sebuah wawancara. Latihan berbulan-bulan seorang petinju juga akan ditentukan dalam pertandingan yang hanya beberapa menit.

Kembali pada kasus studi kami, modul-modul yang ada telah membuat kami terperdaya, sibuk jungkir balik mengerjakan praktikum dan tugas berjibun. Kami lupa yang meluluskan kami adalah tugas akhir. Maka teman saya berpesan, jangan sampai kita lupa pada ‘tugas akhir’ dari hidup kita. Jangan sampai jungkir balik hanya karena modul-modul kehidupan. Dan parahnya lagi, dalam kehidupan, deadline untuk tugas akhir tidak diketahui. Ia mengintai sewaktu-waktu. Jadi ada baiknya setiap saat kita harus selalu mengerjakan tugas akhir kita.

Parenting Lessons

Sebuah percakapan dengan anakku yang berumur 5 tahun di depan meja yang penuh toples untuk Lebaran :
Rifqa: “Papi dulu waktu kecil suka dimarahin ya?”
Saya: “Hah, kenapa kamu bilang begitu?”
R: “Iya, kelihatan sekarang takut mau makan makanan di toples, apalagi yang belum dibuka”
S: “…..”
Percakapan 2 hari sebelumnya :
S: “Wafernya jangan dihabisin ya.. Buat nanti Lebaran..”
R: “Papi dulu hanya makan ini waktu Lebaran ya?”
S: “Hah?”
R: “Iya, jadinya sekarang khawatir tidak bisa makan ini waktu Lebaran”
S: “…..”
Dua kali dihakimi, saya pun membalas:
S: “Rifqa dari kecil suka marah-marah ya?”
“Tidak! Papi salah!! “, katanya sambil melotot.