Trans Jogja?

Trans Jogja

Warga rimba raya mungkin belum selesai menyumpahi busway Trans Jakarta. Tetapi ternyata ada pemerintah daerah lain yang merasa model transportasi ini cukup pantas untuk ditiru. Setidaknya di kampung halaman saya, Yogyakarta.

Libur Idul Adha yang bersambung libur Natal tidak saya sia-siakan. Meski saya tidak ikut latah mengambil cuti dua hari agar bersambung dengan libur Tahun Baru.

Ada pemandangan baru yang tiba-tiba akrab. Halte-halte baru yang sedang dibangun mirip halte Trans Jakarta bertebaran di ruas-ruas jalan Yogya. Model transportasi yang kontroversial di tempat asalnya, kini akan hadir di kota yang (dulu?) berjuluk Kota Pelajar. Spontan mulut menganga tertawa, namun lalu terkatup dengan dahi mengernyit. Saya harus mencari tahu, ini kandang binatang apa.

Entah karena hebatnya Pemda Yogya, yang mungkin dengan taat memegang prinsip “Sedikit bicara banyak bekerja” atau karena kepedulian dan kekritisan masyarakatnya yang rendah. Sekian banyak orang yang saya tanya tidak ada yang dapat menjawab pertanyaan saya. Padahal pertanyaan saya tidak sesulit soal ujian nasional, hanya sekedar: bus nantinya seperti apa, trayek/jalur lewat mana saja, tiket bayar berapa dan beli dimana, apa jalannya juga terpisah seperti Trans Jakarta, dan sebagainya.

“mbiyen pas pertama dibangun, podho dinggo gojekan, wah busway tekan kene, eee…jebule tenan…” (Dulu saat pertama dibangun, dijadikan bahan guyonan, busway nyampe sini, eee… ternyata betulan…)

Berbeda dengan pembangunan koridor Trans Jakarta yang dilakukan secara bertahap, pembangunan halte Trans Jogja dilakukan secara serempak di seluruh pelosok kota. Jalur bus juga tidak dipisahkan dari jalan untuk pelintas lain. Hanya garis putih panjang di depan masing-masing halte.

Pemda Yogya mungkin telah belajar dari Pemda Jakarta. Daripada menuai kritik yang sering tidak memberi solusi, Pemda Yogya terus saja membangun halte-halte tanpa sosialisasi. Pokoknya yang penting jadi dulu. Kalau sudah jadi, masyarakat tinggal dipaksa. Toh “tresna jalaran saka kulina”(cinta karena biasa).

Tapi ini sama dengan berjudi. Sopir dan kernet bus kota, tukang becak dan andong, yang hari ini diam belum tentu akan begitu ketika Trans Jogja telah beroperasi. Saya belum tahu rencana pemda untuk mereka. Saya berharap daripada mencari sopir baru mending melatih sopir lama.

Transportasi umum di Yogya memang sedang sekarat. Tentu perlu solusi. Seperti di kota lain, angkutan massal bertarung dengan rival beratnya yaitu sepeda motor. Di kota ini 2 liter bensin cukup untuk berputar-putar kota selama seminggu. Apakah iming-iming bus ber-AC bisa mengalahkan angin semilir saat naik motor? Apakah masyarakat mampu ditarik menuju halte, sedang “insentif” bernama selamat saja tidak mampu menarik mereka melalui zebra-cross atau jembatan penyeberangan? Kita tunggu…

numb..

Rupanya saya kuwalat. Istilah melayunya kalo ga salah “menepuk air didulang, terpercik muka sendiri“. Setelah beroposisi terhadap keputusan Rudy yang menutup blognya, saya tertular sindrom itu. Sindrom mati rasa.

Pekerjaan yang menumpuk dan tidak berhenti bertumpuk, kelelahan di jalan akibat kemacetan, dan banyak hal remeh-temeh lainnya bisa saya jadikan alasan. Tapi sungguh, bukan saja menulis blog yang terhenti. Malas blogwalking, hanya satu-dua blog seleb kontinyu update yang saya kunjungi. Pun milis-milis yang saya ikuti pada mati suri. Yang masih bernapas juga tidak menarik. Cukup dibaca judulnya, select, lalu mark as read.

Friendster? Hanya saya kunjungi ketika mendapat email notifikasi bahwa saya mendapat pesan. Itupun sering berakhir dengan kekecewaan karena pesan tersebut hanya forward-an alias spam sopan.

Rasanya sudah saatnya mengundurkan diri dari dunia online. Saya telah mencoba flickr, namun kegembiraan hanya berlangsung sesaat saja. Gambar yang bertengger disana tidak pernah berubah sejak hari kedua saya sign up.

Terakhir bermain facebook. Lumayan ada aplikasi pukul-pukulan dan serang-serangan. Namun cara mendapat poin dengan model MLM tidak saya suka.

Kematian belum diputuskan. Istirahat dulu sajalah….